Senin, 31 Maret 2014

Hidup itu Memilih Aman atau Nyaman?



Semua orang pasti pernah bermimpi, tidak hanya satu buah, bahkan jutaan mimpi dan sepertinya belum tentu mampu tertampung dengan baik. Lalu, kira-kira apa yang dilakukan agar manajemen mimpi terlaksana dengan baik? Saya pun tidak menemukan bagaimana formula apik agar semua itu bisa terwujud, kecuali mencoba berbagai hal satu persatu. Ya, mencicipi banyak hal yang menarik, sambil meraba-raba makanan apa yang terlezat, sehat, dan memberikan kenikmatan yang tak ternilai. Kita tidak akan pernah tau bagaimana rasanya jika kita tidak mencobanya sendiri, jangan dulu percaya kata orang, buktikan dan rasakan terlebih dahulu, jika enak lanjutkan santapanmu, tapi jika tidak, yasudah, tinggalkan saja tanpa penuh rasa sesal.

Sewaktu kecil saya ingin menjadi arsitek, karena melihat sosok ayah saya yang seorang insinyur rumah, membayangkan bisa membangun sebuah rumah yang nyaman, asri, dan musikal. Setiap saya mengintili ayah saya mengecek bangunan yang sedang digarapnya, imajinasi saya liar berjalan-jalan kesana kemari. Tiba-tiba saya bisa membangun dunia sendiri, dengan membayangkan bahwa ada sebuah kamar milikku akan diisi oleh berbagai hal, mulai dari alat musik, buku, sofa, seperangkat PC dan speaker yang nyaman untuk mendengarkan musik. Di kamar lain, saya sudah merancang untuk membuat sebuah studio kecil, berisi piano, alat musik lainnya, perangkat rekaman dan audio, tentu saja dengan peredam dan AC yang menyamankan. Eits, tapi itu cuma imajinasi anak SD yang bermimpi suatu hari semua itu menjadi kenyataan. Seiring berjalannya waktu, saya tiba-tiba ingin menekuni dunia manajemen, ketika melihat ibu saya yang seorang akuntan dan konsultan. Begitu tegas memimpin anak buahnya, rapih mengatur hal manajerialnya, dan mampu berpikir cabang (bahasa beken-nya multitasking). Namun ketika saya mengetahui bahwa manajemen tetap berurusan dengan hitung menghitung dan uang meng-uang, saya mundur perlahan. Yeah, saya lebih suka menghitung not di notasi balok daripada mengurusi duit yang bukan milik saya. Nah, di sisi lain saya punya hobi yang mungkin aneh dan entah apa ini dialami oleh orang lain. Saya dan adik saya seringkali merekam suara kami di sebuah tape recorder dengan bergaya layaknya penyiar professional. Lucu juga kalau dipikir-pikir, kami merekam suara kami (pura-pura) siaran, lalu menyetel song list dari kaset lagu favorit kami. Lalu setelah itu kami dengarkan bersama sambil tertawa-tawa. Ya, itu mimpi saya lainnya untuk bisa menjadi penyiar, kerja di radio, karena sejak kecil saya pendengar setia sebuah radio anak muda terkenal di Jakarta. Belum lagi, nilai bahasa Indonesia dan mengarang saya sejak SD ternyata bagus-bagus lho, dulu bahkan saya punya buku yang berisi semua tulisan mulai puisi, cerpen, atau cuma sekadar kata-kata curhatan anak muda belaka. Saat itu saya juga berpikir untuk menjadi penulis. Semua itu sebagian dari mozaik-mozaik mimpi yang sempat terurai dalam rangkaian hidup, di samping sebuah mimpi besar saya untuk hidup bersama musik.
Tanpa sadar, saya sudah mencoba dan mencicipi banyak hal, mungkin hingga saat ini masih banyak yang ingin saya coba dan cicipi, sesuai porsinya. Saya pernah menjadi penyiar, wartawan radio, mulai dari radio berita hingga radio entertainment. Saya kuliah di Sastra Indonesia, walaupun belum berkesempatan untuk secara intens menekuni dunia tulis menulis secara serius. Mungkin juga setelah ini. Saya tinggal di sebuah kamar sederhana yang memiliki rak buku dengan berbagai gizi menyenangkan, seperangkat PC dan audio sederhana, alat music, sederhana, namun menyehatkan jiwa (sekalipun selalu berantakan). Di ruang lain, saya memiliki sebuah piano walaupun belum ditemani dengan berbagai alat audio lainnya, hanya saja ia hinggap bersama kumpulan alat bambu yang selama sekitar 2 tahun ini saya tekuni. Juga menjadi guru, dosen dan tukang ngamen musik, menjalani beberapa kuliah hingga lulus. Ya, semua dijalani dengan semangat tinggi, pantang menyerah, terkadang campur lelah, sempat putus asa, hingga pada suatu titik kita mungkin harus memilih jalan mana yang benar-benar ingin ditempuh.
Saya mengajar di suatu sekolah sudah sekitar 5 tahun lamanya, mereka terus mendorong saya untuk mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, agar kelak sekolah itu juga memiliki guru musik yang berlabel pemerintah. Di sisi lain, kampus tempat saya mengajar masih harus menunggu antrian untuk menjadi dosen tetap, menyelesaikan kuliah S2, dan berbagai prosedur lainnya yang harus ditempuh. Saya juga masih tetap ngamen di sebuah lobi hotel bintang lima di Surabaya, bekerja di radio, menjadi guru privat piano di beberapa sekolah musik, dan tetap mengarang musik di sela-sela kesibukan. Kemaruk kalau kata orang jawa, atau malah tidak fokus? Ya, semuanya ingin tetap saya makan, atas dasar saya senang menjalaninya. Namun, akhirnya saya berada di satu titik untuk memilih jalan yang mungkin terlihat lebih ‘jelas’. Berdasarkan asas ‘iseng-iseng berhadiah’, saya lakukan dorongan sekaligus paksaan pihak sekolah dan tentu saja keluarga, untuk mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri sipil itu. Agak ribet dan ruwet memang ya, saya tetap selalu bingung, kenapa hal yang mudah selalu dipersulit untuk wadah berbau pemerintah. Singkat cerita, saya lolos menjadi pegawai negeri sipil yang konon katanya sangat diidam-idamkan banyak orang. Tapi anehnya, saya kok ya ndak bahagia membaca pengumuman itu. Ada penolakan besar dalam hati yang tak terelakkan. Tidak bisa terkatakan sih memang, itu semua hanya masalah hati dan kenyamanan. Ya, kenyamanan. Apalagi, hal itu ditambah kecelakaan lain yang prosedural dan menambah luka dalam menjalaninya, saya harus menjalani tugas di tempat lain yang berbeda dengan sekolah yang saya hinggapi 5 tahun lamanya. Tanpa bisa mengelak, saya jalani, walaupun saya seperti berjalan di luar tubuh sendiri, namun saya jalani atas dasar ‘saya mencintai dunia mengajar’.
Sekitar 1,5 tahun saya jalani semua itu tanpa penolakan yang berarti. Memakai baju seragam, menjadi bu guru yang tidak boleh bertingkah ‘ajaib’, harus manis, menjaga sikap (jaga image tepatnya), tapi gak boleh pelit nilai (untuk urusan ini, saya mendapat kecaman banyak guru sebagai guru sok idealis, yang tidak mudah memberikan nilai baik pada muridnya. Lha, memang muridnya tidak kompeten masa’ iya harus dipaksa dan di’manipulasi’ menjadi kompeten, itu pembodohan namanya), juga harus aktif di kegiatan sekolah tanpa absen. Yup, semua saya lakukan, hingga mampu mengangkat aktivitas seni di sekolah itu menjadi sangat baik, bahkan saya cukup menikmatinya, atas dasar kecintaan saya kemudian dengan murid-murid disana. Walaupun demikian, gaya gak bisa diam saya tidak pernah pudar, di sela-sela itu saya sering bolos atau tepatnya kabur sejenak untuk liputan, kadang-kadang kabur ke luar kota untuk mengikuti workshop musik, pertunjukkan musik, malah pernah ijin sakit beberapa hari demi bisa memiliki waktu lebih untuk menyelesaikan komposisi musik. Hingga pada satu titik saya mendapatkan bintang jatuh yang tak terduga, sebuah yayasan seni di Jakarta meloloskan proposal saya dalam sebuah hibah seni untuk seniman perempuan Indonesia bersama 3 seniman perempuan lainnya dari kota Solo, Jakarta dan Yogyakarta. Wow! Itu seperti keajaiban yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kami berempat harus menghasilkan karya seni pertunjukkan baru selama 2 tahun berturut-turut, mengikuti workshop dan residensi. Saya tidak pernah mengira sebelumnya akan berada di lingkaran itu, bagi saya mereka terlalu tinggi untuk dijangkau, mereka mungkin hanya menampung seniman senior dan berpengalaman. Sedangkan saya, pengalaman berkesenian juga masih minim, kesempatan berkarya juga hanya dilakukan di sela-sela waktu mengajar dan liputan. Mendadak saya takjub, kagum, bahagia sendiri tanpa bisa terkatakan oleh apapun. Pertandakah ini? Saya pun tidak bisa menguraikannya. Tuhan seringkali mewujudkan semua mimpi-mimpi dan harapan yang saya inginkan, tanpa pernah menelaah, ini memang jalan terbaik yang diberikan Tuhan atau justru Tuhan memang membiarkannya untuk saya mencoba hal apapun baik pahit atau manis sekalipun.Tapi kali ini, saya merasa ini seperti pertanda dari Tuhan, yang mungkin ingin mengembalikan saya ke track yang semestinya. Workshop awal saya jalani dengan banyak ketakjuban, bertemu Ratna Riantiarno, Nano Riantiarno, Iskandar Loedin, dan saya seperti melihat dunia lebih luas dari saya jalani sebelumnya. Banyak hal yang masih ingin saya raih, mimpi-mimpi yang belum terwujud, ilmu yang belum diperoleh, kesempatan-kesempatan yang tak terhindarkan. Mulai dari titik itu lah, saya bertanya pada diri sendiri “Sudah tepatkah jalan yang saya pilih ini?”. Saya menyukai profesi guru, mengajar anak-anak, memotivasi mereka, itu memang passion saya yang sejak kecil saya impikan. Saya selalu mengeluh setiap melihat guru musik yang menanamkan ‘disiplin’ berlebihan hingga mengarah pada ‘teror’ di dalam pengajaran musik. Menganggap musik, not balok, bermain musik sebagai musuh harus dihindari karena kesulitannya. Mereka memang menanamkan kedisiplinan, tapi mereka melupakan bagaimana mengajak murid bersenang-senang bersama di dalam musik, menanamkan kedisiplinan dalam kebersamaan. Itu yang saya sering lihat berbagai lompatan di dalam pengajaran musik pada masa itu. Anak tidak boleh dipaksa, mereka punya hal untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya secara alamiah. Hal itu yang merasuk ke dalam diri saya sejak kecil, hingga membawanya ke dunia pendidikan musik yang menyenangkan ini. Namun pertanyaan berikutnya adalah, haruskah saya mengajar di tempat dan wadah seperti yang saya jalani? Tempat yang mungkin berpotensi untuk tidak membuat saya fokus di dalam kekaryaan seni secara global. Mungkin saja orang akan mengatakan bahwa, sekolah bisa saja menjadi wadah kreativitas kita dalam berkarya, tidak ada sanggahan untuk itu. Namun saya juga bisa mengajar dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat. Ya, itu yang saya pikirkan secara kuat saat itu. Hingga berbulan-bulan saya berpikir ulang, berdiskusi dengan banyak teman, guru, sahabat, juga orang tua, orang-orang yang mengetahui sepak terjangku sebelumnya. Semua kembali lagi pada keputusan diri sendiri, bertanya pendapat orang itu penting, tapi sebaik-baiknya pendapat orang, hati dan diri sendiri lah yang harus menentukan.
Kontroversi. Anda memilih hidup yang aman atau nyaman? Itu pertanyaannya. Jika memilih aman, mungkin saya cukup untuk bertahan di sekolah, mendapat gaji tetap, ditambah tunjangan-tunjangan, kemungkinan sertifikas, pensiun, dan keamanan jaminan hidup lainnya. Sesekali jika waktu memungkinkan, masih bisa berkarya, juga liputan, atau ngamen, seperti sebelumnya dan sedia kala.  Idealnya mungkin seperti itu. Jika memilih mengutamakan nyaman, mungkin saya memilih untuk hidup berkesenian, meluangkan waktu lebih banyak untuk beraktivitas seni, melakukan banyak riset, berkarya, melakukan kolaborasi dengan banyak seniman, bisa berkeliling ke luar kota (atau bahkan luar negeri) walau hanya untuk sekedar mencari ‘vitamin’ yang bergizi untuk kesehatan musikalitas kesenian. Di sisi lain, untuk menyeimbangkan hidup saya masih bisa mengajar privat, di sebuah sekolah musik, bahkan membangun mimpi sejak dulu untuk membuat sekolah musik sendiri dirumah. Idealnya pun bisa seperti itu. Namun orang pada umumnya pasti akan mengatakan pada saya untuk memilih mengutamakan aman, demi masa depan yang berarti dan menjanjikan. Hanya orang gila yang mau memilih nyaman dan hidup selayaknya seniman yang menurut mereka identik dengan ‘ketidakjelasan’ hidup. Saya tidak boleh takabur, mereka orang-orang yang sudah lebih dulu menjalani hidup dibandingkan saya yang masih seumur jagung menjalani hidup. Saya juga tidak boleh sombong, untuk tidak merasa membutuhkan hidup ‘aman’ untuk masa depan. Saya juga tidak boleh angkuh untuk merasa bahwa saya bisa bertahan hidup di kesenian yang juga semakin absurd. Tapi saya boleh merasa yakin dengan apa yang saya pilih, apa yang sesuai dengan passion yang saya jalani, sekalipun itu ‘bernilai’ atau tidak.
Semua orang menghujat, mencibir, bahkan menyumpahi bahwa suatu hari saya akan menyesal meninggalkan posisi yang banyak orang impikan dan perebutkan. Mereka menganggap saya gila, gak masuk akal, dan tidak penuh perhitungan. Saya menelan semuanya, saya ambil hal yang baik, tanggalkan sementara yang tidak sesuai. Ya, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari lingkungan itu, dengan penuh kontroversi, penuh penolakan, yang hingga tulisan ini dibuat pun, saya belum mendapatkan surat resmi persetujuan pengunduran diri saya tersebut, mereka menolak dengan berbagai alasan dan ancaman. Banyak negosiasi yang dilakukan, atas dasar berharap ada sebuah dukungan penuh terhadap prestasi seni yang diraih, dan sebuah kompensasi dan dispensasi yang akan diberikan sebagai guru berprestasi. Tapi aturan tetaplah aturan, mereka tidak mau melihat sebesar apa itu potensi yang dimiliki guru, sebesar apa dukungan yang harus diberikan, mereka hanya menginginkan semua guru mengajar minimal 24 jam pelajaran penuh bahkan lebih, patuh pada peraturan, menjalani birokrasi dan kenaikan pangkat dengan tertib, memberikan nilai KKM, dan tidak boleh memberikan nilai merah pada murid. Itu lah aturan, itulah wajah pendidikan Indonesia. Bodohnya, saya tidak menggubris semua itu. Saya tetap mundur dengan baik-baik, berharap mereka memahami pilihan yang saya tempuh untuk melangkah lebih baik dan fokus pada  tahap berikutnya. Hal tersedih adalah harus berpisah dengan murid-murid tercinta, mereka sempat marah dan protes atas kepergian saya dari sekolah. Mereka merindukan latihan paduan suara bersama, guyon begejekan bersama, ngerasani guru lain bersama, bereksperimen bunyi dengan alat apapun di kelas, atau sekadar melihat saya mengajar dengan gaya nyentrik full kalung dan gelang. Saya merindukan mereka. Mungkin mereka tidak istimewa, tapi mereka anak-anak yang luar biasa, mampu belajar dengan cepat dan sabar dari nol hingga bisa meleburkan suara bersama dengan indah. Mulai dari diremehkan sampai dipuji-puji. Mulai dari dihalang-halangi, hingga mendapat dukungan. 1,5 tahun terlihat singkat dan padat. Namun dimanapun kita berada, sesingkat apapun itu, jangan pernah meninggalkan tinta buruk yang menyakitkan, buatlah tinta itu membekas hingga indah dan tak terlupakan.
Ya, selepas pengunduran diri itu, saya menyelesaikan tesis, lulus dengan nilai yang memuaskan, dan terus berkarya. 2 pergelaran karya musik atas hibah seni untuk seniman perempuan itu terlaksana dengan sukses, dan mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat Surabaya. Ada juga sejumlah orang yang masih merasa asing atau justru menolak dengan tawaran musik dan seni pertunjukkan yang saya usung, namun selebihnya juga masih merasa bahwa ini adalah sebuah pengalaman baru. Residensi saya ke beberapa tempat di Jawa Barat juga berlangsung sangat menyenangkan dan luar biasa. Mendorong saya untuk tidak berhenti melakukan riset dan perjalanan seni lainnya yang penuh gizi tinggi. Saya juga mendapat banyak kesempatan untuk berkolaborasi dengan banyak seniman, dan banyak kesempatan indah lainnya. Saya tetap mengajar, dan terus belajar serta berbagi dengan siapapun. Di atas langit masih ada langit. Dan, Saya bahagia.
Perjalanan hidup seseorang tidak pernah berjalan di sebuah formula yang sama. Mungkin ada orang yang bisa bahagia menjalani hidupnya yang ‘aman’, dan itu tidak salah. Itu adalah pilihannya. Tapi ada juga orang yang memilih hidupnya untuk menjalaninya dengan mengutamakan ‘nyaman’. Lebih bijak lagi jika kita bisa membuat keduanya bersama ‘aman’ dan ‘nyaman’. Ya, perjalanan terkadang akan membuat kita lebih bijak dalam melangkah, juga bertanggung jawab atas pilihan yang sudah diambil dengan segala resiko dan konsekuensinya. Hidup idealis memang tidak mudah, tapi menyeimbangkannya dengan hidup realistis akan membuatnya lebih lengkap.
Sahabat saya bernama Ragahulu mengatakan “perjalanan setiap manusia bisa ditempuh dengan banyak cara, tinggal bagaimana manusia itu memilih caranya masing-masing untuk memperoleh kebahagiaannya”(Laring 2 : Ragahulu).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors

Followers