Senin, 31 Maret 2014

Hidup itu Memilih Aman atau Nyaman?



Semua orang pasti pernah bermimpi, tidak hanya satu buah, bahkan jutaan mimpi dan sepertinya belum tentu mampu tertampung dengan baik. Lalu, kira-kira apa yang dilakukan agar manajemen mimpi terlaksana dengan baik? Saya pun tidak menemukan bagaimana formula apik agar semua itu bisa terwujud, kecuali mencoba berbagai hal satu persatu. Ya, mencicipi banyak hal yang menarik, sambil meraba-raba makanan apa yang terlezat, sehat, dan memberikan kenikmatan yang tak ternilai. Kita tidak akan pernah tau bagaimana rasanya jika kita tidak mencobanya sendiri, jangan dulu percaya kata orang, buktikan dan rasakan terlebih dahulu, jika enak lanjutkan santapanmu, tapi jika tidak, yasudah, tinggalkan saja tanpa penuh rasa sesal.

Sewaktu kecil saya ingin menjadi arsitek, karena melihat sosok ayah saya yang seorang insinyur rumah, membayangkan bisa membangun sebuah rumah yang nyaman, asri, dan musikal. Setiap saya mengintili ayah saya mengecek bangunan yang sedang digarapnya, imajinasi saya liar berjalan-jalan kesana kemari. Tiba-tiba saya bisa membangun dunia sendiri, dengan membayangkan bahwa ada sebuah kamar milikku akan diisi oleh berbagai hal, mulai dari alat musik, buku, sofa, seperangkat PC dan speaker yang nyaman untuk mendengarkan musik. Di kamar lain, saya sudah merancang untuk membuat sebuah studio kecil, berisi piano, alat musik lainnya, perangkat rekaman dan audio, tentu saja dengan peredam dan AC yang menyamankan. Eits, tapi itu cuma imajinasi anak SD yang bermimpi suatu hari semua itu menjadi kenyataan. Seiring berjalannya waktu, saya tiba-tiba ingin menekuni dunia manajemen, ketika melihat ibu saya yang seorang akuntan dan konsultan. Begitu tegas memimpin anak buahnya, rapih mengatur hal manajerialnya, dan mampu berpikir cabang (bahasa beken-nya multitasking). Namun ketika saya mengetahui bahwa manajemen tetap berurusan dengan hitung menghitung dan uang meng-uang, saya mundur perlahan. Yeah, saya lebih suka menghitung not di notasi balok daripada mengurusi duit yang bukan milik saya. Nah, di sisi lain saya punya hobi yang mungkin aneh dan entah apa ini dialami oleh orang lain. Saya dan adik saya seringkali merekam suara kami di sebuah tape recorder dengan bergaya layaknya penyiar professional. Lucu juga kalau dipikir-pikir, kami merekam suara kami (pura-pura) siaran, lalu menyetel song list dari kaset lagu favorit kami. Lalu setelah itu kami dengarkan bersama sambil tertawa-tawa. Ya, itu mimpi saya lainnya untuk bisa menjadi penyiar, kerja di radio, karena sejak kecil saya pendengar setia sebuah radio anak muda terkenal di Jakarta. Belum lagi, nilai bahasa Indonesia dan mengarang saya sejak SD ternyata bagus-bagus lho, dulu bahkan saya punya buku yang berisi semua tulisan mulai puisi, cerpen, atau cuma sekadar kata-kata curhatan anak muda belaka. Saat itu saya juga berpikir untuk menjadi penulis. Semua itu sebagian dari mozaik-mozaik mimpi yang sempat terurai dalam rangkaian hidup, di samping sebuah mimpi besar saya untuk hidup bersama musik.
Tanpa sadar, saya sudah mencoba dan mencicipi banyak hal, mungkin hingga saat ini masih banyak yang ingin saya coba dan cicipi, sesuai porsinya. Saya pernah menjadi penyiar, wartawan radio, mulai dari radio berita hingga radio entertainment. Saya kuliah di Sastra Indonesia, walaupun belum berkesempatan untuk secara intens menekuni dunia tulis menulis secara serius. Mungkin juga setelah ini. Saya tinggal di sebuah kamar sederhana yang memiliki rak buku dengan berbagai gizi menyenangkan, seperangkat PC dan audio sederhana, alat music, sederhana, namun menyehatkan jiwa (sekalipun selalu berantakan). Di ruang lain, saya memiliki sebuah piano walaupun belum ditemani dengan berbagai alat audio lainnya, hanya saja ia hinggap bersama kumpulan alat bambu yang selama sekitar 2 tahun ini saya tekuni. Juga menjadi guru, dosen dan tukang ngamen musik, menjalani beberapa kuliah hingga lulus. Ya, semua dijalani dengan semangat tinggi, pantang menyerah, terkadang campur lelah, sempat putus asa, hingga pada suatu titik kita mungkin harus memilih jalan mana yang benar-benar ingin ditempuh.
Saya mengajar di suatu sekolah sudah sekitar 5 tahun lamanya, mereka terus mendorong saya untuk mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, agar kelak sekolah itu juga memiliki guru musik yang berlabel pemerintah. Di sisi lain, kampus tempat saya mengajar masih harus menunggu antrian untuk menjadi dosen tetap, menyelesaikan kuliah S2, dan berbagai prosedur lainnya yang harus ditempuh. Saya juga masih tetap ngamen di sebuah lobi hotel bintang lima di Surabaya, bekerja di radio, menjadi guru privat piano di beberapa sekolah musik, dan tetap mengarang musik di sela-sela kesibukan. Kemaruk kalau kata orang jawa, atau malah tidak fokus? Ya, semuanya ingin tetap saya makan, atas dasar saya senang menjalaninya. Namun, akhirnya saya berada di satu titik untuk memilih jalan yang mungkin terlihat lebih ‘jelas’. Berdasarkan asas ‘iseng-iseng berhadiah’, saya lakukan dorongan sekaligus paksaan pihak sekolah dan tentu saja keluarga, untuk mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri sipil itu. Agak ribet dan ruwet memang ya, saya tetap selalu bingung, kenapa hal yang mudah selalu dipersulit untuk wadah berbau pemerintah. Singkat cerita, saya lolos menjadi pegawai negeri sipil yang konon katanya sangat diidam-idamkan banyak orang. Tapi anehnya, saya kok ya ndak bahagia membaca pengumuman itu. Ada penolakan besar dalam hati yang tak terelakkan. Tidak bisa terkatakan sih memang, itu semua hanya masalah hati dan kenyamanan. Ya, kenyamanan. Apalagi, hal itu ditambah kecelakaan lain yang prosedural dan menambah luka dalam menjalaninya, saya harus menjalani tugas di tempat lain yang berbeda dengan sekolah yang saya hinggapi 5 tahun lamanya. Tanpa bisa mengelak, saya jalani, walaupun saya seperti berjalan di luar tubuh sendiri, namun saya jalani atas dasar ‘saya mencintai dunia mengajar’.
Sekitar 1,5 tahun saya jalani semua itu tanpa penolakan yang berarti. Memakai baju seragam, menjadi bu guru yang tidak boleh bertingkah ‘ajaib’, harus manis, menjaga sikap (jaga image tepatnya), tapi gak boleh pelit nilai (untuk urusan ini, saya mendapat kecaman banyak guru sebagai guru sok idealis, yang tidak mudah memberikan nilai baik pada muridnya. Lha, memang muridnya tidak kompeten masa’ iya harus dipaksa dan di’manipulasi’ menjadi kompeten, itu pembodohan namanya), juga harus aktif di kegiatan sekolah tanpa absen. Yup, semua saya lakukan, hingga mampu mengangkat aktivitas seni di sekolah itu menjadi sangat baik, bahkan saya cukup menikmatinya, atas dasar kecintaan saya kemudian dengan murid-murid disana. Walaupun demikian, gaya gak bisa diam saya tidak pernah pudar, di sela-sela itu saya sering bolos atau tepatnya kabur sejenak untuk liputan, kadang-kadang kabur ke luar kota untuk mengikuti workshop musik, pertunjukkan musik, malah pernah ijin sakit beberapa hari demi bisa memiliki waktu lebih untuk menyelesaikan komposisi musik. Hingga pada satu titik saya mendapatkan bintang jatuh yang tak terduga, sebuah yayasan seni di Jakarta meloloskan proposal saya dalam sebuah hibah seni untuk seniman perempuan Indonesia bersama 3 seniman perempuan lainnya dari kota Solo, Jakarta dan Yogyakarta. Wow! Itu seperti keajaiban yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kami berempat harus menghasilkan karya seni pertunjukkan baru selama 2 tahun berturut-turut, mengikuti workshop dan residensi. Saya tidak pernah mengira sebelumnya akan berada di lingkaran itu, bagi saya mereka terlalu tinggi untuk dijangkau, mereka mungkin hanya menampung seniman senior dan berpengalaman. Sedangkan saya, pengalaman berkesenian juga masih minim, kesempatan berkarya juga hanya dilakukan di sela-sela waktu mengajar dan liputan. Mendadak saya takjub, kagum, bahagia sendiri tanpa bisa terkatakan oleh apapun. Pertandakah ini? Saya pun tidak bisa menguraikannya. Tuhan seringkali mewujudkan semua mimpi-mimpi dan harapan yang saya inginkan, tanpa pernah menelaah, ini memang jalan terbaik yang diberikan Tuhan atau justru Tuhan memang membiarkannya untuk saya mencoba hal apapun baik pahit atau manis sekalipun.Tapi kali ini, saya merasa ini seperti pertanda dari Tuhan, yang mungkin ingin mengembalikan saya ke track yang semestinya. Workshop awal saya jalani dengan banyak ketakjuban, bertemu Ratna Riantiarno, Nano Riantiarno, Iskandar Loedin, dan saya seperti melihat dunia lebih luas dari saya jalani sebelumnya. Banyak hal yang masih ingin saya raih, mimpi-mimpi yang belum terwujud, ilmu yang belum diperoleh, kesempatan-kesempatan yang tak terhindarkan. Mulai dari titik itu lah, saya bertanya pada diri sendiri “Sudah tepatkah jalan yang saya pilih ini?”. Saya menyukai profesi guru, mengajar anak-anak, memotivasi mereka, itu memang passion saya yang sejak kecil saya impikan. Saya selalu mengeluh setiap melihat guru musik yang menanamkan ‘disiplin’ berlebihan hingga mengarah pada ‘teror’ di dalam pengajaran musik. Menganggap musik, not balok, bermain musik sebagai musuh harus dihindari karena kesulitannya. Mereka memang menanamkan kedisiplinan, tapi mereka melupakan bagaimana mengajak murid bersenang-senang bersama di dalam musik, menanamkan kedisiplinan dalam kebersamaan. Itu yang saya sering lihat berbagai lompatan di dalam pengajaran musik pada masa itu. Anak tidak boleh dipaksa, mereka punya hal untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya secara alamiah. Hal itu yang merasuk ke dalam diri saya sejak kecil, hingga membawanya ke dunia pendidikan musik yang menyenangkan ini. Namun pertanyaan berikutnya adalah, haruskah saya mengajar di tempat dan wadah seperti yang saya jalani? Tempat yang mungkin berpotensi untuk tidak membuat saya fokus di dalam kekaryaan seni secara global. Mungkin saja orang akan mengatakan bahwa, sekolah bisa saja menjadi wadah kreativitas kita dalam berkarya, tidak ada sanggahan untuk itu. Namun saya juga bisa mengajar dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat. Ya, itu yang saya pikirkan secara kuat saat itu. Hingga berbulan-bulan saya berpikir ulang, berdiskusi dengan banyak teman, guru, sahabat, juga orang tua, orang-orang yang mengetahui sepak terjangku sebelumnya. Semua kembali lagi pada keputusan diri sendiri, bertanya pendapat orang itu penting, tapi sebaik-baiknya pendapat orang, hati dan diri sendiri lah yang harus menentukan.
Kontroversi. Anda memilih hidup yang aman atau nyaman? Itu pertanyaannya. Jika memilih aman, mungkin saya cukup untuk bertahan di sekolah, mendapat gaji tetap, ditambah tunjangan-tunjangan, kemungkinan sertifikas, pensiun, dan keamanan jaminan hidup lainnya. Sesekali jika waktu memungkinkan, masih bisa berkarya, juga liputan, atau ngamen, seperti sebelumnya dan sedia kala.  Idealnya mungkin seperti itu. Jika memilih mengutamakan nyaman, mungkin saya memilih untuk hidup berkesenian, meluangkan waktu lebih banyak untuk beraktivitas seni, melakukan banyak riset, berkarya, melakukan kolaborasi dengan banyak seniman, bisa berkeliling ke luar kota (atau bahkan luar negeri) walau hanya untuk sekedar mencari ‘vitamin’ yang bergizi untuk kesehatan musikalitas kesenian. Di sisi lain, untuk menyeimbangkan hidup saya masih bisa mengajar privat, di sebuah sekolah musik, bahkan membangun mimpi sejak dulu untuk membuat sekolah musik sendiri dirumah. Idealnya pun bisa seperti itu. Namun orang pada umumnya pasti akan mengatakan pada saya untuk memilih mengutamakan aman, demi masa depan yang berarti dan menjanjikan. Hanya orang gila yang mau memilih nyaman dan hidup selayaknya seniman yang menurut mereka identik dengan ‘ketidakjelasan’ hidup. Saya tidak boleh takabur, mereka orang-orang yang sudah lebih dulu menjalani hidup dibandingkan saya yang masih seumur jagung menjalani hidup. Saya juga tidak boleh sombong, untuk tidak merasa membutuhkan hidup ‘aman’ untuk masa depan. Saya juga tidak boleh angkuh untuk merasa bahwa saya bisa bertahan hidup di kesenian yang juga semakin absurd. Tapi saya boleh merasa yakin dengan apa yang saya pilih, apa yang sesuai dengan passion yang saya jalani, sekalipun itu ‘bernilai’ atau tidak.
Semua orang menghujat, mencibir, bahkan menyumpahi bahwa suatu hari saya akan menyesal meninggalkan posisi yang banyak orang impikan dan perebutkan. Mereka menganggap saya gila, gak masuk akal, dan tidak penuh perhitungan. Saya menelan semuanya, saya ambil hal yang baik, tanggalkan sementara yang tidak sesuai. Ya, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari lingkungan itu, dengan penuh kontroversi, penuh penolakan, yang hingga tulisan ini dibuat pun, saya belum mendapatkan surat resmi persetujuan pengunduran diri saya tersebut, mereka menolak dengan berbagai alasan dan ancaman. Banyak negosiasi yang dilakukan, atas dasar berharap ada sebuah dukungan penuh terhadap prestasi seni yang diraih, dan sebuah kompensasi dan dispensasi yang akan diberikan sebagai guru berprestasi. Tapi aturan tetaplah aturan, mereka tidak mau melihat sebesar apa itu potensi yang dimiliki guru, sebesar apa dukungan yang harus diberikan, mereka hanya menginginkan semua guru mengajar minimal 24 jam pelajaran penuh bahkan lebih, patuh pada peraturan, menjalani birokrasi dan kenaikan pangkat dengan tertib, memberikan nilai KKM, dan tidak boleh memberikan nilai merah pada murid. Itu lah aturan, itulah wajah pendidikan Indonesia. Bodohnya, saya tidak menggubris semua itu. Saya tetap mundur dengan baik-baik, berharap mereka memahami pilihan yang saya tempuh untuk melangkah lebih baik dan fokus pada  tahap berikutnya. Hal tersedih adalah harus berpisah dengan murid-murid tercinta, mereka sempat marah dan protes atas kepergian saya dari sekolah. Mereka merindukan latihan paduan suara bersama, guyon begejekan bersama, ngerasani guru lain bersama, bereksperimen bunyi dengan alat apapun di kelas, atau sekadar melihat saya mengajar dengan gaya nyentrik full kalung dan gelang. Saya merindukan mereka. Mungkin mereka tidak istimewa, tapi mereka anak-anak yang luar biasa, mampu belajar dengan cepat dan sabar dari nol hingga bisa meleburkan suara bersama dengan indah. Mulai dari diremehkan sampai dipuji-puji. Mulai dari dihalang-halangi, hingga mendapat dukungan. 1,5 tahun terlihat singkat dan padat. Namun dimanapun kita berada, sesingkat apapun itu, jangan pernah meninggalkan tinta buruk yang menyakitkan, buatlah tinta itu membekas hingga indah dan tak terlupakan.
Ya, selepas pengunduran diri itu, saya menyelesaikan tesis, lulus dengan nilai yang memuaskan, dan terus berkarya. 2 pergelaran karya musik atas hibah seni untuk seniman perempuan itu terlaksana dengan sukses, dan mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat Surabaya. Ada juga sejumlah orang yang masih merasa asing atau justru menolak dengan tawaran musik dan seni pertunjukkan yang saya usung, namun selebihnya juga masih merasa bahwa ini adalah sebuah pengalaman baru. Residensi saya ke beberapa tempat di Jawa Barat juga berlangsung sangat menyenangkan dan luar biasa. Mendorong saya untuk tidak berhenti melakukan riset dan perjalanan seni lainnya yang penuh gizi tinggi. Saya juga mendapat banyak kesempatan untuk berkolaborasi dengan banyak seniman, dan banyak kesempatan indah lainnya. Saya tetap mengajar, dan terus belajar serta berbagi dengan siapapun. Di atas langit masih ada langit. Dan, Saya bahagia.
Perjalanan hidup seseorang tidak pernah berjalan di sebuah formula yang sama. Mungkin ada orang yang bisa bahagia menjalani hidupnya yang ‘aman’, dan itu tidak salah. Itu adalah pilihannya. Tapi ada juga orang yang memilih hidupnya untuk menjalaninya dengan mengutamakan ‘nyaman’. Lebih bijak lagi jika kita bisa membuat keduanya bersama ‘aman’ dan ‘nyaman’. Ya, perjalanan terkadang akan membuat kita lebih bijak dalam melangkah, juga bertanggung jawab atas pilihan yang sudah diambil dengan segala resiko dan konsekuensinya. Hidup idealis memang tidak mudah, tapi menyeimbangkannya dengan hidup realistis akan membuatnya lebih lengkap.
Sahabat saya bernama Ragahulu mengatakan “perjalanan setiap manusia bisa ditempuh dengan banyak cara, tinggal bagaimana manusia itu memilih caranya masing-masing untuk memperoleh kebahagiaannya”(Laring 2 : Ragahulu).   

Jumat, 28 Maret 2014

Kisah Jumat dan 11jahitan

Tertanggal 12 Februari 2014 lalu adalah hari bersejarah yang tak terlupakan untuk sepanjang jalanan Perak dan kaki kurusku. Suasana siang yang cukup ramai motor dan sejumlah mobil, suasana hati yang juga sedang santai sambil mengobrol dengan kakak hebat, mbak Sekartadji di sepanjang jalan. Saat itu kami berencana akan menuju ke Pelabuhan Perak, untuk mengantar mbak Sekar menuju sang kekasih di Pelabuhan. Ya, kakak hebat ini akan berangkat ke Madura bersama kekasihnya untuk moment berharga pokoknya. Tapi di perjalanan kami justru mendapat hadiah hebat moment tak terlupakan terutama selama sebulanan terakhir ini. Di sela senda gurau kami yang menyenangkan, mendadak sekian detik setelahnya kami sudah terkapar di jalan raya dengan motor yang terbanting ke kanan jalan, kakiku yang tertiban motor dan mbak Sekar yang saat itu aku sempat tidak melihat dirinya. Aku tidak tau persis apa yang terjadi, hanya mengingat bahwa sepersekiandetik sebelum terjatuh, ada 2 orang laki-laki yang melintasi kami dengan motor kecepatan tinggi. ternyata salah satu orang di motor itu berusaha untuk menarik tas mbak Sekar, karena upaya itu tidak berhasil, kami terbantik jatuh ke kanan. Kejadiannya sangat cepat, bahkan tidak banyak orang yang mengetahui bahwa itu adalah sebuah penjambretan. Menurut mereka pasti kami hanya 2 perempuan ceroboh yang tiba-tiba hilang keseimbangan dan terjatuh begitu saja.Jelas tidak bung, kami hampir terjambret, Syukurnya upaya itu terloloskan, walaupun tersisa banyak luka di hati dan tubuh kami. Bukan bermaksud berlebihan memang, tapi begitu ternyata yang terjadi di minggu-minggu berikutnya pasca kejadian itu. 

Kaki kurusku terjepit motor. Itu tepatnya. Seperti kecelakaan sebelum2nya akibat kelalaianku yang tukang ngantuk di jalan, atau kecepatan yang labil, aku menganggapnya seperti jatuh biasanya, mungkin kakiku bengkak dan beberapa hari harus recovery. Tapi ketika aku tidak kuat mengangkat motor dan merintih minta tolong ke orang-orang di jalanan, mereka langsung spontan berteriak "Lho, robek mbak, bolong!". Mendadak juga bolong otakku, antara sadar dan tidak, percaya gak percaya, dan aku masih ingat betul bentuk 'berantakan' luka di kaki kurusku itu. Menyeramkan tepatnya. Aku kemudian diangkut oleh orang-orang ke pinggir jalan untuk kemudian dibantu untuk tetap sadar dan tidak pingsan. Sempat muntah sejenak setelah aku berupaya menjaga kesadaran. nggliyeng-nya pake banget soalnya. Untungnya aku masih bisa sadar dan tidak pingsan. Di dekat situ ada sebuah Lab yang akhirnya membantu untuk mengamankan luka 'berantakan' itu, memberinya rivanol dan membersihkannya sementara serta diberi perban. Perihnya luar biasa, sakitnya minta ampun, dan darahnya berceceran. Aku kemudian digotong mereka untuk duduk di kursi roda menunggu jemputan Ayah untuk dibawa ke UGD terdekat. Mimpi apa aku semalam tiba-tiba ketiban kejutan luar biasa ini. Bagaimana dengan mbak Sekar, ya..pelipisnya terluka akibat terbentur aspal. Orang-orang juga membantunya memberikan perban di pelipisnya. 

Hari itu hari jumat, dan akhirnya di hari itu kaki kurusku mendapat tamu baru, #si11jahitan namanya. Sejumlah benang akhirnya harus bersatu dengan tubuhku kemudian, setelah melalui bius 4 jam dan jarum yang mengerikan itu. 
 


Ruang UGD Rumah Sakit PHC, itu saksi bisu masuknya #si11jahitan di dalam tubuhku. Suster muda yang mencoba menghiburku, dengan cerita nyelimur tentang kerjaan, keluarga, hingga konsultasi anaknya yang ingin belajar musik, supaya aku tidak fokus ke rasa sakit dari jahitannya. Tapi tetap saja, sisi reflekku yang lain tetap menghitung berapa banyak jahitan yang sedang diproses itu. Hasil rontjen juga menunjukkan bahwa tulang kakiku baik-baik saja, walaupun dokter sempat membuat shock dengan pernyataan "Wah, lukanya jelek sekali ini mbak, hampir keliatan tulangnya, di rontjen dulu ya, takutnya ada yang retak".  Whaatt??? jelek...keliatan tulang...luka model apa lah itu pun aku tidak berani melihatnya kemudian. Berlangsung sekitar 1 jam, setelah jahitan selesai dengan rapih (katanya), saya pulang didampingi ayah dengan taxi. Motorku tercinta, si supri, pulang kerumah dibawa anak buahnya ayah, yang konon katanya berantakan juga wujudnya. Tapi dia masih kuat kok, masih mampu pulang kerumah dengan selamat. ah, kau memang kuat kok supri...

Baiklah, setelah itu aku pulang kerumah, masih bisa menghibur diri, ketawa ketiwi, update status di path, facebook, bbm, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan ngguya ngguyu, menerima kedatangan teman yang menjenguk dengan cengar cengir, dan 1 hari setelahnya badanku totally remuk redam. akhirnya, aktivitas lumpuh hampir 1 bulan ke depan. Saya didampingi tongkat, kursi roda ketika di kontrol di rumah sakit, gadget sekeluarga, keluarga tercinta, sahabat2 tersayang, dan pacar yang luar biasa juga. Apapun itu, aku bersyukur Tuhan masih memberi kesempatanku untuk hidup, dan tidak menghentikan langkahku untuk menggapai mimpi-mimpiku. 




Hei Jumat, terima kasih telah memberikanku sahabat baru, yang mendadak datang tanpa diundang. Ya, dia #si11jahitan.....

Sabtu, 18 Januari 2014

Cerita di balik Petualangan Bunyi #soundadventure2014

Saya sudah jatuh cinta dengan bunyi sejak dahulu kala. Saya ingat saat waktu kecil saya mendengar bebunyian apapun, dan imajinasi saya berkelana layaknya gambar komik yang bercerita dalam gambarnya. Tapi sayangnya, telinga itu sempat terdistorsi juga saat telinga saya mulai tervirusi oleh banyak ragam jenis musik. Saya meninggalkannya, tidak lagi menengoknya dengan seksama, sampai suatu hari saya kembali menemukannya lagi. saya kembali bertemu bebunyian, menjadi pemburu bunyi (gitu kata beberapa teman yang menjulukoku..haha). Ya, orang bernama PietHein, seorang Belanda yang sudah kukenal sejak 2007. Dia seorang sonologis yang sudah selama sekitar 30 tahun bergerak di bidang aktivitas bunyi dan seni di Indonesia. bolak balik Indonesia-Belanda dia lakukan demi kecintaannya untuk tetap melakukan sesuatu di Indonesia. Yeah, saya mengikuti salah satu programnya tahun 2012, yaitu City Soundscape di Surabaya dan Yogyakarta. Dari sanalah permulaan petualangan bunyi dilanjutkan kembali, merekam banyak sekali bunyi menarik, mulai suara alam, mesin, hingga berbagai dialek menarik dari ocehan manusia. Setelah itu, kedekatan saya dengan PietHein membuatnya mempertemukan saya dengan Roderik de Man, seorang komponis Belanda yang merupakan sahabat dekat PietHein. Di situlah akhirnya saya bersama teman saya Samuel Respati belajar komposisi bersamanya di Trawas, rumah Magda-Bas, salah satu kerabat PietHein. 

Berlangsung setahun kemudian, muncullah berbagai ide untuk bekerja bersama, merangkai aktivitas, sekaligus belajar memahami berbagai karakter orang, hingga lahirlah acara Sound Adventure 2014. Awalnya, saya berekspektasi berat untuk menjadi peserta. sungguh!! Tapi nasib ya nasib, akhirnya saya justru berperan menjadi seksi sibuk dan menjadi co curator mereka. Awalnya, kecewa sih gak berkesempatan jadi peserta. Tapi, saya dan juga akhirnya Tommy membantu di dalam proses ini, mencoba melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Kami akan mendapatkan pengalaman yang berbeda saat bekerja bersama mereka. 

13-18 Januari 2014 di STKW Surabaya, jadilah acara tersebut terlaksana dengan baik. Undangan dan publikasi sudah disebar dengan banyak cara. Mungkin memang tidak banyak orang yang tertarik pada hal bebunyian seperti ini, katanya sih mungkin 'bukan musik'. maaf kalau saya agak sinis ya...bukan maksud apapun kok, itu hak asasi setiap manusia. Tapi juga mungkin terkendala aktivitas yang tidak memungkinkan untuk meninggalkan sekolah, kuliah, ataupun kerjaan. Ya, paling tidak saya sudah memberikan umpan kepada siapapun di kota Surabaya tercinta ini, jika anda tidak tertarik menerkamnya ya itu urusan anda. Saya tidak akan ambil pusing mengenai hal ini. Seminggu sudah acara ini berlangsung. Terbentuk 4 kelompok bebunyian dari berbagai penjuru, mereka bergabung bersama, tidak peduli berlatar belakang musik barat, musik tradisi, seni rupa, teater, semua berkarya bersama dalam satu karya seni pertunjukkan. 

 
 


interdisiplin, interkultural, itu yang terjadi di dalam proses sound adventure ini. Rule yang diberikan PietHein cukup jelas, "no solo, this is a teamwork", kecenderungan ini akan memancing kedewasaan masing-masing peserta, untuk bisa menurunkan ego dan saling memahami satu sama lainnya, menyatukan ide dan imajinasi dalam satu karya seni pertunjukkan. Selama 4 hari mereka melakukan eksplorasi bunyi bersama, menemukan bunyi baru dengan berbagai cara. Kreatif! Itu yang tidak disangka oleh hasil penemuan mereka.Masing-masing memiliki karakteristik sendiri yang mereka hasilkan dengan baik. Menjadikannya sebuah komposisi yang apik adalah tantangan utamanya. Setelah kita menemukan bunyi yang diinginkan, tantangan berikutnya adalah meramunya menjadi sebuah komposisi dengan alur yang menarik. Sebagian dari mereka sudah memahami alur komposisi, bagaimana mengawali, mengembangkan dan mengakhiri dengan coda yang menarik. Mungkin, hanya di beberapa bagian dari mereka masih mencari-cari apa yang ingin dimunculkan. Itu sangat wajar, mereka bekerja bersama hanya dalam waktu 5 hari, dan itu sudah sangat luar biasa untuk menjadi sebuah karya baru hasil kolaborasi bersama. Bagi saya, semua proses ini adalah hal luar biasa yang semoga akan menjadi stimulus bagi kekaryaan masing-masing partisipan. 


Saya ucapkan selamat kepada seluruh partisipan dari berbagai penjuru, kalian luar biasa, semoga kita bertemu lagi di eksplorasi bebunyian berikutnya. terima kasih luar biasa kepada my great teacher, Piethein dan Roderik de Man, yang mengajarkan banyak hal tidak hanya musik itu sendiri, juga bagaimana mengelola manusia dan seni di dalam kehidupan nyata. Juga, si tukang elektronik Samuel Respati, bersama dua sohibnya Jong and Pepi. Great job guys!! what a great process with you all. Ini hanya langkah awal, akan lahir magnet-magnet lainnya setelah berbagai langkah ini..just let see...:)  

Sounds is everywhere, all we must to do is just find it....





Sabtu, 25 Mei 2013

Padi, Bambu, dan Tubuh Manusia : Sebuah Awal Perjalanan #ResidensiEWA (1)

Seseorang bertubuh kurus seringkali mengabaikan dirinya untuk makan teratur, dan makan banyak. Bahkan mereka pun sering membiarkan bersuap suap nasi tertinggal sedih di atas piring tanpa belas kasihan sedikitpun. Memang bukan sebuah generalisasi, tapi yang saya katakan lebih menuju pada kebanyakan orang. Lalu, apa pula hubungannya dengan padi, bambu dan tubuh manusia.

Ya, ini berhubungan sangat dengan perjalanan cukup singkat selama sebulan yang baru saja saya lalui. Ini semacam prolog, dari cerita perjalanan yang saya lalui sebulan kemarin. Sebelum saya menemukan banyak hal di luar yang saya perkirakan. Yang pasti, hal yang menjadi catatan penting di awal perjalanan adalah : "Semoga perjalanan ini akan mendewasakanku dalam kehidupan dan kesenian".

Sebuah penelusuran dan spirit awal untuk mengenal bambu lebih dekat dan dalam. Sebelum saya berbincang banyak dengan bambu, ternyata padi lebih dahulu menghampiri saya. Saat itu saya mengunjungi sebuah kasepuhan di daerah Pelabuhan Ratu, sekitar 8 jam dari Bandung, "Desa Ciptagelar". Awalnya saya seperti merasa bahwa ini adalah semacam desa budaya yang berjalan dengan subsidi pemerintah, atau justru melalui lembaga sejenis NGO yang menaungi. Tapi ternyata, tempat ini jauh dari perkiraanku. Sebuah desa yang letaknya 3 jam dari Pelabuhan Ratu, masih sangat memegang tradisional dan adat leluhur, tapi tidak menutup diri dari modernitas. Coba bayangkan, mereka yang berada di wilayah taman nasional gunung Halimun, sangat jauh dari kota, tapi memiliki TV dan Radio lokal sendiri, bahkan memiliki akses wifi.

Kang Yoyok, itulah sosok yang saya temui ketika sesampainya di Ciptagelar. Saya tinggal dirumahnya bersama keluarga besarnya. Bersama mereka lah saya menyapa padi di pagi hari. Ya, padi yang bukan hanya gambar di TV, media masa, dan semua media publikasi manapun. Bukan juga hanya sekelimbat lewat ketika sedang berjalan-jalan di daerah pedesaan. Saya menyatu bersama padi pagi itu. Kang yoyok lalu memberikan saya sebuah alat pemotong padi bernama etem. Itu adalah alat tradisional pemotong padi, bukan dengan golok atau alat lainnya yang lebih modern. Nah, jika sudah ada alat yang lebih modern, untuk apa masih harus bersusah payah memotong padi dengan etem? Pada kenyataannya, tidak mudah memotong padi dengan etem. Butuh kemampuan dan kesabaran dalam melakukannya. Bahkan harus rela membiarkan tangan menjadi bebal dan kapalan akibat memotong padi. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebatas menjaga nilai tradisi. Tapi bukan hanya sekadar itu yang mereka lakukan, jauh lebih dalam maknanya daripada sekilas mata yang banyak orang pikirkan.

Padi menyatukan masyarakat. Saya mengalami aktivitas di sawah sebanyak 3 kali. Apa yang mereka lakukan di sawah, sama halnya dengan masyarakat kota beraktivitas di kantor, berangkat pukul 7 pagi dan pulang kerumah sekitar jam 5-6 sore. Mereka bahkan makan siang bersama di dalam saung, berbagi makanan, memasak air dan meminum kopi bersama. Tapi yang menarik bukan hanya itu, mungkin itu terlihat biasa sebagai sebuah aktivitas. Ada sebuah kerjasama dan kekeluargaan yang hangat. Tidak semua orang memiliki sawah, dan orang yang tidak memiliki sawah tidak boleh menanam padi, TAPI boleh memetik padi. Nah, pertanyaannya...jika tidak memiliki sawah, kenapa bisa memetik padi? Disinilah, selain mata uang rupiah masih dibutuhkan, tapi sistem barter masih diberlakukannya. Kang Yoyok sekeluarga belum memiliki sawah, alhasil yang dilakukan adalah membantu memetik sawah tetangga. Tidak hanya satu tetangga, bahkan tiap hari-nya bisa berpindah-pindah lokasi. Lalu, apa untungnya mereka ikut memetik padi hasil panen sawah tetangganya itu? Ya, jadi setiap 5 ikat padi yang kami hasilkan, kami mendapatkan 1 ikat padi secara gratis, sebagai pengganti upah kami karena telah memetik padi milik mereka. Memang tidak banyak yang dihasilkan, tapi setiap 1 ikat padi itu sangat berarti bagi kang Yoyok sekeluarga. Setiap harinya kami bisa mendapatkan padi sekitar 2 hingga 6 ikat. Bekerja seharian penuh, menyatu dengan panas matahari, dengan lumpur sawah, suara burung, kincir angin sawah, bunyi terompet mainan dari padi, sekaligus senda gurau semua orang yang ada di sawah. Itu nilai yang tak tergantikan oleh harga apapun. Kebersamaan yang tidak bisa digantikan oleh alat potong modern macam manapun. Tagline yang selalu terucap dimanapun saat itu adalah "Yang penting bahagia". Semua orang tertawa, tersenyum, dan larut akan kebahagiaan bersama. Itu yang kurasakan. Bahkan di sebuah acara adat yang sudah menjadi aktivitas masyarakat bernama "Ngahiras", seluruh masyarakat Ciptagelar memetik padi bersama di lahan sawah Abah (tokoh yang dituakan dan bertugas memimpin Ciptagelar), dan ada kelompok yang bernama "Barisan Angklung" yang memainkan angklung tradisional di sawah, mengiringi masyarakat yang sedang di sawah. Sebuah peleburan yang sinergis antara kebersamaan, kesenian, dan keindahan sebuah adat tradisional yang masih terjaga.

Ilmu padi, bukan hanya sekadar kata mutiara. "Semakin padi itu merunduk ke bawah, berarti itu adalah padi yang berisi". Banyak sekali padi yang sudah matang di sawah berhektar-hektar itu, banyak juga padi yang merunduk, dengan kadar 'isi' yang berbeda-beda. Analoginya, Tuhan menciptakan manusia sebagai wujud dan bentuk yang sama. Misal perempuan, kapasitasnya pun akan berbeda-beda satu sama lainnya. Ya, sama halnya dengan padi. Terkadang ada beberapa padi yang kami petik dan ternyata tidak ada isinya. Ada padi berwarna hitam, tapi sebetulnya berasnya berwarna putih. Ada yang terlihat besar, padahal kecil. Sebuah pemaknaan yang tidak hanya sebagai sebuah kata-kata mutiara. Semua orang lahir berbeda-beda, dengan kemampuan dan intelektual yang juga berbeda-beda. Tapi, ilmu padi mengajarkan kita untuk selalu menginjak bumi dan tidak sombong. Hari pertama saya 'nyawah', saya menangis. Memetik padi itu susah, capek, bahkan berjam-jam saya berdiri seharian penuh, mungkin hanya menghasilkan 1-2 ikat padi. Tapi perjuangan itu yang tidak bisa dianggap angin lalu. Masih perlukan saya makan dan menyisakan butiran nasi di piring? Atau masih perlukan saya tidak menghargai perjuangan saya sendiri? Atau justru saya yang terlalu banyak hal pencapaian yang ingin diraih? Hal yang terpenting adalah bagaimana kita menikmati perjuangan kita, menikmati setiap kesusahan dan kesulitan yang dihadapi, menikmati hasil jerih payah dengan tetap mengingatNya bersama semesta yang mendampingi, juga selalu merunduk tanpa banyak kata, namun memiliki banyak hasil dari sebuah tindakan nyata. Melangkah dan bertindak sesuai dengan porsi kemampuan diri adalah hal yang paling bijak dilakukan. Batang padi yang tidak cukup kuat menopang 'isi'-nya pun akan terperosok jatuh ke dalam lumpur. Hukum keseimbangan selalu berlaku di dalam kehidupan, dan keikhlasan yang menjadi kunci kebahagiaan hidup, sesulit apapun itu dilalui. 

Saya jadi sangat merindukan Ciptagelar dan semua isinya. Keindahan alam, suara alam, kehangatan masyarakatnya, kebersamaan yang tak ternilai, dan filosofi hidup yang tak terlupakan.


Jumat, 24 Mei 2013

Welcome!

Welcome!

Ucapan ini bukan hanya diperuntukkan bagi semua teman-teman yang mampir ke blog saya, itu juga termasuk ucapan selamat datang bagi saya di dunia blog. Mungkin semacam istilah kesiangan untuk berselancar di dunia blog saat ini. Tapi, pilihannya adalah kesiangan atau tidak hadir sama sekali. Sayangnya, saya memilih untuk tetap hadir walaupun sebetulnya kesiangan. Saya yakin matahari memaklumi atas sinarnya yang terang lebih dahulu ketika saya baru membuka mata di pagi hari. Perselancaran dunia dengan kacamata seorang gemadanswara akan dimulai kemudian. So, I still said Welcome! to my self, and everyone who read this notes.

Visitors

Followers