Semua orang
pasti pernah bermimpi, tidak hanya satu buah, bahkan jutaan mimpi dan
sepertinya belum tentu mampu tertampung dengan baik. Lalu, kira-kira apa yang
dilakukan agar manajemen mimpi terlaksana dengan baik? Saya pun tidak menemukan
bagaimana formula apik agar semua itu
bisa terwujud, kecuali mencoba berbagai hal satu persatu. Ya, mencicipi banyak
hal yang menarik, sambil meraba-raba makanan apa yang terlezat, sehat, dan
memberikan kenikmatan yang tak ternilai. Kita tidak akan pernah tau bagaimana
rasanya jika kita tidak mencobanya sendiri, jangan dulu percaya kata orang,
buktikan dan rasakan terlebih dahulu, jika enak lanjutkan santapanmu, tapi jika
tidak, yasudah, tinggalkan saja tanpa penuh rasa sesal.
Sewaktu kecil saya ingin menjadi arsitek, karena
melihat sosok ayah saya yang seorang insinyur rumah, membayangkan bisa
membangun sebuah rumah yang nyaman, asri, dan musikal. Setiap saya mengintili ayah saya mengecek bangunan
yang sedang digarapnya, imajinasi saya liar berjalan-jalan kesana kemari.
Tiba-tiba saya bisa membangun dunia sendiri, dengan membayangkan bahwa ada
sebuah kamar milikku akan diisi oleh berbagai hal, mulai dari alat musik, buku,
sofa, seperangkat PC dan speaker yang nyaman untuk mendengarkan musik. Di kamar
lain, saya sudah merancang untuk membuat sebuah studio kecil, berisi piano,
alat musik lainnya, perangkat rekaman dan audio, tentu saja dengan peredam dan
AC yang menyamankan. Eits, tapi itu cuma imajinasi anak SD yang bermimpi suatu
hari semua itu menjadi kenyataan. Seiring berjalannya waktu, saya tiba-tiba ingin
menekuni dunia manajemen, ketika melihat ibu saya yang seorang akuntan dan
konsultan. Begitu tegas memimpin anak buahnya, rapih mengatur hal
manajerialnya, dan mampu berpikir cabang (bahasa beken-nya multitasking).
Namun ketika saya mengetahui bahwa manajemen tetap berurusan dengan hitung
menghitung dan uang meng-uang, saya mundur perlahan. Yeah, saya lebih suka
menghitung not di notasi balok daripada mengurusi duit yang bukan milik saya.
Nah, di sisi lain saya punya hobi yang mungkin aneh dan entah apa ini dialami
oleh orang lain. Saya dan adik saya seringkali merekam suara kami di sebuah tape
recorder dengan bergaya layaknya penyiar professional. Lucu juga kalau
dipikir-pikir, kami merekam suara kami (pura-pura) siaran, lalu menyetel song
list dari kaset lagu favorit kami. Lalu setelah itu kami dengarkan bersama
sambil tertawa-tawa. Ya, itu mimpi saya lainnya untuk bisa menjadi penyiar,
kerja di radio, karena sejak kecil saya pendengar setia sebuah radio anak muda
terkenal di Jakarta. Belum lagi, nilai bahasa Indonesia dan mengarang saya
sejak SD ternyata bagus-bagus lho, dulu bahkan saya punya buku yang berisi
semua tulisan mulai puisi, cerpen, atau cuma sekadar kata-kata curhatan anak
muda belaka. Saat itu saya juga berpikir untuk menjadi penulis. Semua itu
sebagian dari mozaik-mozaik mimpi yang sempat terurai dalam rangkaian hidup, di
samping sebuah mimpi besar saya untuk hidup bersama musik.
Tanpa sadar, saya sudah mencoba dan mencicipi banyak
hal, mungkin hingga saat ini masih banyak yang ingin saya coba dan cicipi,
sesuai porsinya. Saya pernah menjadi penyiar, wartawan radio, mulai dari radio berita
hingga radio entertainment. Saya
kuliah di Sastra Indonesia, walaupun belum berkesempatan untuk secara intens
menekuni dunia tulis menulis secara serius. Mungkin juga setelah ini. Saya
tinggal di sebuah kamar sederhana yang memiliki rak buku dengan berbagai gizi
menyenangkan, seperangkat PC dan audio sederhana, alat music, sederhana, namun
menyehatkan jiwa (sekalipun selalu berantakan). Di ruang lain, saya memiliki
sebuah piano walaupun belum ditemani dengan berbagai alat audio lainnya, hanya
saja ia hinggap bersama kumpulan alat bambu yang selama sekitar 2 tahun ini
saya tekuni. Juga menjadi guru, dosen dan tukang ngamen musik, menjalani
beberapa kuliah hingga lulus. Ya, semua dijalani dengan semangat tinggi, pantang
menyerah, terkadang campur lelah, sempat putus asa, hingga pada suatu titik
kita mungkin harus memilih jalan mana yang benar-benar ingin ditempuh.
Saya mengajar di suatu sekolah sudah sekitar 5 tahun
lamanya, mereka terus mendorong saya untuk mendaftar menjadi pegawai negeri
sipil, agar kelak sekolah itu juga memiliki guru musik yang berlabel
pemerintah. Di sisi lain, kampus tempat saya mengajar masih harus menunggu
antrian untuk menjadi dosen tetap, menyelesaikan kuliah S2, dan berbagai
prosedur lainnya yang harus ditempuh. Saya juga masih tetap ngamen di sebuah lobi hotel bintang lima
di Surabaya, bekerja di radio, menjadi guru privat piano di beberapa sekolah
musik, dan tetap mengarang musik di sela-sela kesibukan. Kemaruk kalau kata orang jawa, atau malah tidak fokus? Ya, semuanya
ingin tetap saya makan, atas dasar saya senang menjalaninya. Namun, akhirnya
saya berada di satu titik untuk memilih jalan yang mungkin terlihat lebih
‘jelas’. Berdasarkan asas ‘iseng-iseng berhadiah’, saya lakukan dorongan
sekaligus paksaan pihak sekolah dan tentu saja keluarga, untuk mendaftarkan diri
menjadi pegawai negeri sipil itu. Agak ribet dan ruwet memang ya, saya tetap
selalu bingung, kenapa hal yang mudah selalu dipersulit untuk wadah berbau
pemerintah. Singkat cerita, saya lolos menjadi pegawai negeri sipil yang konon
katanya sangat diidam-idamkan banyak orang. Tapi anehnya, saya kok ya ndak bahagia membaca pengumuman itu. Ada
penolakan besar dalam hati yang tak terelakkan. Tidak bisa terkatakan sih
memang, itu semua hanya masalah hati dan kenyamanan. Ya, kenyamanan. Apalagi,
hal itu ditambah kecelakaan lain yang prosedural dan menambah luka dalam
menjalaninya, saya harus menjalani tugas di tempat lain yang berbeda dengan
sekolah yang saya hinggapi 5 tahun lamanya. Tanpa bisa mengelak, saya jalani, walaupun
saya seperti berjalan di luar tubuh sendiri, namun saya jalani atas dasar ‘saya
mencintai dunia mengajar’.
Sekitar 1,5 tahun saya jalani semua itu tanpa
penolakan yang berarti. Memakai baju seragam, menjadi bu guru yang tidak boleh
bertingkah ‘ajaib’, harus manis, menjaga sikap (jaga image tepatnya), tapi gak boleh pelit nilai (untuk urusan ini, saya
mendapat kecaman banyak guru sebagai guru sok idealis, yang tidak mudah
memberikan nilai baik pada muridnya. Lha, memang muridnya tidak kompeten masa’
iya harus dipaksa dan di’manipulasi’ menjadi kompeten, itu pembodohan namanya),
juga harus aktif di kegiatan sekolah tanpa absen. Yup, semua saya lakukan,
hingga mampu mengangkat aktivitas seni di sekolah itu menjadi sangat baik,
bahkan saya cukup menikmatinya, atas dasar kecintaan saya kemudian dengan
murid-murid disana. Walaupun demikian, gaya gak bisa diam saya tidak pernah
pudar, di sela-sela itu saya sering bolos atau tepatnya kabur sejenak untuk
liputan, kadang-kadang kabur ke luar kota untuk mengikuti workshop musik,
pertunjukkan musik, malah pernah ijin sakit beberapa hari demi bisa memiliki
waktu lebih untuk menyelesaikan komposisi musik. Hingga pada satu titik saya
mendapatkan bintang jatuh yang tak terduga, sebuah yayasan seni di Jakarta
meloloskan proposal saya dalam sebuah hibah seni untuk seniman perempuan
Indonesia bersama 3 seniman perempuan lainnya dari kota Solo, Jakarta dan
Yogyakarta. Wow! Itu seperti keajaiban yang tidak pernah saya bayangkan
sebelumnya. Kami berempat harus menghasilkan karya seni pertunjukkan baru
selama 2 tahun berturut-turut, mengikuti workshop dan residensi. Saya tidak
pernah mengira sebelumnya akan berada di lingkaran itu, bagi saya mereka
terlalu tinggi untuk dijangkau, mereka mungkin hanya menampung seniman senior
dan berpengalaman. Sedangkan saya, pengalaman berkesenian juga masih minim,
kesempatan berkarya juga hanya dilakukan di sela-sela waktu mengajar dan
liputan. Mendadak saya takjub, kagum, bahagia sendiri tanpa bisa terkatakan
oleh apapun. Pertandakah ini? Saya pun tidak bisa menguraikannya. Tuhan
seringkali mewujudkan semua mimpi-mimpi dan harapan yang saya inginkan, tanpa
pernah menelaah, ini memang jalan terbaik yang diberikan Tuhan atau justru
Tuhan memang membiarkannya untuk saya mencoba hal apapun baik pahit atau manis
sekalipun.Tapi kali ini, saya merasa ini seperti pertanda dari Tuhan, yang
mungkin ingin mengembalikan saya ke track
yang semestinya. Workshop awal saya jalani dengan banyak ketakjuban, bertemu
Ratna Riantiarno, Nano Riantiarno, Iskandar Loedin, dan saya seperti melihat
dunia lebih luas dari saya jalani sebelumnya. Banyak hal yang masih ingin saya
raih, mimpi-mimpi yang belum terwujud, ilmu yang belum diperoleh,
kesempatan-kesempatan yang tak terhindarkan. Mulai dari titik itu lah, saya
bertanya pada diri sendiri “Sudah tepatkah jalan yang saya pilih ini?”. Saya
menyukai profesi guru, mengajar anak-anak, memotivasi mereka, itu memang passion saya yang sejak kecil saya
impikan. Saya selalu mengeluh setiap melihat guru musik yang menanamkan
‘disiplin’ berlebihan hingga mengarah pada ‘teror’ di dalam pengajaran musik.
Menganggap musik, not balok, bermain musik sebagai musuh harus dihindari karena
kesulitannya. Mereka memang menanamkan kedisiplinan, tapi mereka melupakan
bagaimana mengajak murid bersenang-senang bersama di dalam musik, menanamkan
kedisiplinan dalam kebersamaan. Itu yang saya sering lihat berbagai lompatan di
dalam pengajaran musik pada masa itu. Anak tidak boleh dipaksa, mereka punya
hal untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya secara alamiah. Hal itu yang
merasuk ke dalam diri saya sejak kecil, hingga membawanya ke dunia pendidikan
musik yang menyenangkan ini. Namun pertanyaan berikutnya adalah, haruskah saya
mengajar di tempat dan wadah seperti yang saya jalani? Tempat yang mungkin
berpotensi untuk tidak membuat saya fokus di dalam kekaryaan seni secara
global. Mungkin saja orang akan mengatakan bahwa, sekolah bisa saja menjadi
wadah kreativitas kita dalam berkarya, tidak ada sanggahan untuk itu. Namun saya
juga bisa mengajar dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat. Ya, itu yang saya
pikirkan secara kuat saat itu. Hingga berbulan-bulan saya berpikir ulang,
berdiskusi dengan banyak teman, guru, sahabat, juga orang tua, orang-orang yang
mengetahui sepak terjangku sebelumnya. Semua kembali lagi pada keputusan diri
sendiri, bertanya pendapat orang itu penting, tapi sebaik-baiknya pendapat
orang, hati dan diri sendiri lah yang harus menentukan.
Kontroversi. Anda memilih hidup yang aman atau
nyaman? Itu pertanyaannya. Jika memilih aman, mungkin saya cukup untuk bertahan
di sekolah, mendapat gaji tetap, ditambah tunjangan-tunjangan, kemungkinan
sertifikas, pensiun, dan keamanan jaminan hidup lainnya. Sesekali jika waktu
memungkinkan, masih bisa berkarya, juga liputan, atau ngamen, seperti
sebelumnya dan sedia kala. Idealnya
mungkin seperti itu. Jika memilih mengutamakan nyaman, mungkin saya memilih
untuk hidup berkesenian, meluangkan waktu lebih banyak untuk beraktivitas seni,
melakukan banyak riset, berkarya, melakukan kolaborasi dengan banyak seniman,
bisa berkeliling ke luar kota (atau bahkan luar negeri) walau hanya untuk
sekedar mencari ‘vitamin’ yang bergizi untuk kesehatan musikalitas kesenian. Di
sisi lain, untuk menyeimbangkan hidup saya masih bisa mengajar privat, di
sebuah sekolah musik, bahkan membangun mimpi sejak dulu untuk membuat sekolah
musik sendiri dirumah. Idealnya pun bisa seperti itu. Namun orang pada umumnya
pasti akan mengatakan pada saya untuk memilih mengutamakan aman, demi masa
depan yang berarti dan menjanjikan. Hanya orang gila yang mau memilih nyaman
dan hidup selayaknya seniman yang menurut mereka identik dengan
‘ketidakjelasan’ hidup. Saya tidak boleh takabur,
mereka orang-orang yang sudah lebih dulu menjalani hidup dibandingkan saya yang
masih seumur jagung menjalani hidup. Saya juga tidak boleh sombong, untuk tidak
merasa membutuhkan hidup ‘aman’ untuk masa depan. Saya juga tidak boleh angkuh
untuk merasa bahwa saya bisa bertahan hidup di kesenian yang juga semakin
absurd. Tapi saya boleh merasa yakin dengan apa yang saya pilih, apa yang
sesuai dengan passion yang saya
jalani, sekalipun itu ‘bernilai’ atau tidak.
Semua orang menghujat, mencibir, bahkan menyumpahi
bahwa suatu hari saya akan menyesal meninggalkan posisi yang banyak orang
impikan dan perebutkan. Mereka menganggap saya gila, gak masuk akal, dan tidak
penuh perhitungan. Saya menelan semuanya, saya ambil hal yang baik, tanggalkan
sementara yang tidak sesuai. Ya, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan
diri dari lingkungan itu, dengan penuh kontroversi, penuh penolakan, yang
hingga tulisan ini dibuat pun, saya belum mendapatkan surat resmi persetujuan
pengunduran diri saya tersebut, mereka menolak dengan berbagai alasan dan
ancaman. Banyak negosiasi yang dilakukan, atas dasar berharap ada sebuah
dukungan penuh terhadap prestasi seni yang diraih, dan sebuah kompensasi dan
dispensasi yang akan diberikan sebagai guru berprestasi. Tapi aturan tetaplah
aturan, mereka tidak mau melihat sebesar apa itu potensi yang dimiliki guru,
sebesar apa dukungan yang harus diberikan, mereka hanya menginginkan semua guru
mengajar minimal 24 jam pelajaran penuh bahkan lebih, patuh pada peraturan,
menjalani birokrasi dan kenaikan pangkat dengan tertib, memberikan nilai KKM,
dan tidak boleh memberikan nilai merah pada murid. Itu lah aturan, itulah wajah
pendidikan Indonesia. Bodohnya, saya tidak menggubris semua itu. Saya tetap
mundur dengan baik-baik, berharap mereka memahami pilihan yang saya tempuh
untuk melangkah lebih baik dan fokus pada
tahap berikutnya. Hal tersedih adalah harus berpisah dengan murid-murid
tercinta, mereka sempat marah dan protes atas kepergian saya dari sekolah.
Mereka merindukan latihan paduan suara bersama, guyon begejekan bersama, ngerasani guru lain bersama,
bereksperimen bunyi dengan alat apapun di kelas, atau sekadar melihat saya
mengajar dengan gaya nyentrik full
kalung dan gelang. Saya merindukan mereka. Mungkin mereka tidak istimewa, tapi
mereka anak-anak yang luar biasa, mampu belajar dengan cepat dan sabar dari nol
hingga bisa meleburkan suara bersama dengan indah. Mulai dari diremehkan sampai
dipuji-puji. Mulai dari dihalang-halangi, hingga mendapat dukungan. 1,5 tahun
terlihat singkat dan padat. Namun dimanapun kita berada, sesingkat apapun itu,
jangan pernah meninggalkan tinta buruk yang menyakitkan, buatlah tinta itu
membekas hingga indah dan tak terlupakan.
Ya, selepas pengunduran diri itu, saya menyelesaikan
tesis, lulus dengan nilai yang memuaskan, dan terus berkarya. 2 pergelaran
karya musik atas hibah seni untuk seniman perempuan itu terlaksana dengan
sukses, dan mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat Surabaya. Ada
juga sejumlah orang yang masih merasa asing atau justru menolak dengan tawaran
musik dan seni pertunjukkan yang saya usung, namun selebihnya juga masih merasa
bahwa ini adalah sebuah pengalaman baru. Residensi saya ke beberapa tempat di
Jawa Barat juga berlangsung sangat menyenangkan dan luar biasa. Mendorong saya
untuk tidak berhenti melakukan riset dan perjalanan seni lainnya yang penuh
gizi tinggi. Saya juga mendapat banyak kesempatan untuk berkolaborasi dengan
banyak seniman, dan banyak kesempatan indah lainnya. Saya tetap mengajar, dan
terus belajar serta berbagi dengan siapapun. Di atas langit masih ada langit.
Dan, Saya bahagia.
Perjalanan hidup seseorang tidak pernah berjalan di sebuah
formula yang sama. Mungkin ada orang yang bisa bahagia menjalani hidupnya yang
‘aman’, dan itu tidak salah. Itu adalah pilihannya. Tapi ada juga orang yang
memilih hidupnya untuk menjalaninya dengan mengutamakan ‘nyaman’. Lebih bijak
lagi jika kita bisa membuat keduanya bersama ‘aman’ dan ‘nyaman’. Ya,
perjalanan terkadang akan membuat kita lebih bijak dalam melangkah, juga
bertanggung jawab atas pilihan yang sudah diambil dengan segala resiko dan
konsekuensinya. Hidup idealis memang tidak mudah, tapi menyeimbangkannya dengan
hidup realistis akan membuatnya lebih lengkap.
Sahabat saya bernama Ragahulu mengatakan “perjalanan
setiap manusia bisa ditempuh dengan banyak cara, tinggal bagaimana manusia itu
memilih caranya masing-masing untuk memperoleh kebahagiaannya”(Laring 2 :
Ragahulu).