Sabtu, 25 Mei 2013

Padi, Bambu, dan Tubuh Manusia : Sebuah Awal Perjalanan #ResidensiEWA (1)

Seseorang bertubuh kurus seringkali mengabaikan dirinya untuk makan teratur, dan makan banyak. Bahkan mereka pun sering membiarkan bersuap suap nasi tertinggal sedih di atas piring tanpa belas kasihan sedikitpun. Memang bukan sebuah generalisasi, tapi yang saya katakan lebih menuju pada kebanyakan orang. Lalu, apa pula hubungannya dengan padi, bambu dan tubuh manusia.

Ya, ini berhubungan sangat dengan perjalanan cukup singkat selama sebulan yang baru saja saya lalui. Ini semacam prolog, dari cerita perjalanan yang saya lalui sebulan kemarin. Sebelum saya menemukan banyak hal di luar yang saya perkirakan. Yang pasti, hal yang menjadi catatan penting di awal perjalanan adalah : "Semoga perjalanan ini akan mendewasakanku dalam kehidupan dan kesenian".

Sebuah penelusuran dan spirit awal untuk mengenal bambu lebih dekat dan dalam. Sebelum saya berbincang banyak dengan bambu, ternyata padi lebih dahulu menghampiri saya. Saat itu saya mengunjungi sebuah kasepuhan di daerah Pelabuhan Ratu, sekitar 8 jam dari Bandung, "Desa Ciptagelar". Awalnya saya seperti merasa bahwa ini adalah semacam desa budaya yang berjalan dengan subsidi pemerintah, atau justru melalui lembaga sejenis NGO yang menaungi. Tapi ternyata, tempat ini jauh dari perkiraanku. Sebuah desa yang letaknya 3 jam dari Pelabuhan Ratu, masih sangat memegang tradisional dan adat leluhur, tapi tidak menutup diri dari modernitas. Coba bayangkan, mereka yang berada di wilayah taman nasional gunung Halimun, sangat jauh dari kota, tapi memiliki TV dan Radio lokal sendiri, bahkan memiliki akses wifi.

Kang Yoyok, itulah sosok yang saya temui ketika sesampainya di Ciptagelar. Saya tinggal dirumahnya bersama keluarga besarnya. Bersama mereka lah saya menyapa padi di pagi hari. Ya, padi yang bukan hanya gambar di TV, media masa, dan semua media publikasi manapun. Bukan juga hanya sekelimbat lewat ketika sedang berjalan-jalan di daerah pedesaan. Saya menyatu bersama padi pagi itu. Kang yoyok lalu memberikan saya sebuah alat pemotong padi bernama etem. Itu adalah alat tradisional pemotong padi, bukan dengan golok atau alat lainnya yang lebih modern. Nah, jika sudah ada alat yang lebih modern, untuk apa masih harus bersusah payah memotong padi dengan etem? Pada kenyataannya, tidak mudah memotong padi dengan etem. Butuh kemampuan dan kesabaran dalam melakukannya. Bahkan harus rela membiarkan tangan menjadi bebal dan kapalan akibat memotong padi. Mungkin banyak orang yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebatas menjaga nilai tradisi. Tapi bukan hanya sekadar itu yang mereka lakukan, jauh lebih dalam maknanya daripada sekilas mata yang banyak orang pikirkan.

Padi menyatukan masyarakat. Saya mengalami aktivitas di sawah sebanyak 3 kali. Apa yang mereka lakukan di sawah, sama halnya dengan masyarakat kota beraktivitas di kantor, berangkat pukul 7 pagi dan pulang kerumah sekitar jam 5-6 sore. Mereka bahkan makan siang bersama di dalam saung, berbagi makanan, memasak air dan meminum kopi bersama. Tapi yang menarik bukan hanya itu, mungkin itu terlihat biasa sebagai sebuah aktivitas. Ada sebuah kerjasama dan kekeluargaan yang hangat. Tidak semua orang memiliki sawah, dan orang yang tidak memiliki sawah tidak boleh menanam padi, TAPI boleh memetik padi. Nah, pertanyaannya...jika tidak memiliki sawah, kenapa bisa memetik padi? Disinilah, selain mata uang rupiah masih dibutuhkan, tapi sistem barter masih diberlakukannya. Kang Yoyok sekeluarga belum memiliki sawah, alhasil yang dilakukan adalah membantu memetik sawah tetangga. Tidak hanya satu tetangga, bahkan tiap hari-nya bisa berpindah-pindah lokasi. Lalu, apa untungnya mereka ikut memetik padi hasil panen sawah tetangganya itu? Ya, jadi setiap 5 ikat padi yang kami hasilkan, kami mendapatkan 1 ikat padi secara gratis, sebagai pengganti upah kami karena telah memetik padi milik mereka. Memang tidak banyak yang dihasilkan, tapi setiap 1 ikat padi itu sangat berarti bagi kang Yoyok sekeluarga. Setiap harinya kami bisa mendapatkan padi sekitar 2 hingga 6 ikat. Bekerja seharian penuh, menyatu dengan panas matahari, dengan lumpur sawah, suara burung, kincir angin sawah, bunyi terompet mainan dari padi, sekaligus senda gurau semua orang yang ada di sawah. Itu nilai yang tak tergantikan oleh harga apapun. Kebersamaan yang tidak bisa digantikan oleh alat potong modern macam manapun. Tagline yang selalu terucap dimanapun saat itu adalah "Yang penting bahagia". Semua orang tertawa, tersenyum, dan larut akan kebahagiaan bersama. Itu yang kurasakan. Bahkan di sebuah acara adat yang sudah menjadi aktivitas masyarakat bernama "Ngahiras", seluruh masyarakat Ciptagelar memetik padi bersama di lahan sawah Abah (tokoh yang dituakan dan bertugas memimpin Ciptagelar), dan ada kelompok yang bernama "Barisan Angklung" yang memainkan angklung tradisional di sawah, mengiringi masyarakat yang sedang di sawah. Sebuah peleburan yang sinergis antara kebersamaan, kesenian, dan keindahan sebuah adat tradisional yang masih terjaga.

Ilmu padi, bukan hanya sekadar kata mutiara. "Semakin padi itu merunduk ke bawah, berarti itu adalah padi yang berisi". Banyak sekali padi yang sudah matang di sawah berhektar-hektar itu, banyak juga padi yang merunduk, dengan kadar 'isi' yang berbeda-beda. Analoginya, Tuhan menciptakan manusia sebagai wujud dan bentuk yang sama. Misal perempuan, kapasitasnya pun akan berbeda-beda satu sama lainnya. Ya, sama halnya dengan padi. Terkadang ada beberapa padi yang kami petik dan ternyata tidak ada isinya. Ada padi berwarna hitam, tapi sebetulnya berasnya berwarna putih. Ada yang terlihat besar, padahal kecil. Sebuah pemaknaan yang tidak hanya sebagai sebuah kata-kata mutiara. Semua orang lahir berbeda-beda, dengan kemampuan dan intelektual yang juga berbeda-beda. Tapi, ilmu padi mengajarkan kita untuk selalu menginjak bumi dan tidak sombong. Hari pertama saya 'nyawah', saya menangis. Memetik padi itu susah, capek, bahkan berjam-jam saya berdiri seharian penuh, mungkin hanya menghasilkan 1-2 ikat padi. Tapi perjuangan itu yang tidak bisa dianggap angin lalu. Masih perlukan saya makan dan menyisakan butiran nasi di piring? Atau masih perlukan saya tidak menghargai perjuangan saya sendiri? Atau justru saya yang terlalu banyak hal pencapaian yang ingin diraih? Hal yang terpenting adalah bagaimana kita menikmati perjuangan kita, menikmati setiap kesusahan dan kesulitan yang dihadapi, menikmati hasil jerih payah dengan tetap mengingatNya bersama semesta yang mendampingi, juga selalu merunduk tanpa banyak kata, namun memiliki banyak hasil dari sebuah tindakan nyata. Melangkah dan bertindak sesuai dengan porsi kemampuan diri adalah hal yang paling bijak dilakukan. Batang padi yang tidak cukup kuat menopang 'isi'-nya pun akan terperosok jatuh ke dalam lumpur. Hukum keseimbangan selalu berlaku di dalam kehidupan, dan keikhlasan yang menjadi kunci kebahagiaan hidup, sesulit apapun itu dilalui. 

Saya jadi sangat merindukan Ciptagelar dan semua isinya. Keindahan alam, suara alam, kehangatan masyarakatnya, kebersamaan yang tak ternilai, dan filosofi hidup yang tak terlupakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Visitors

Followers